Smart, Progresif, and Transformative

selamat datang di Buletin 73, media ini sebagai informasi dan tukar pengetahuan antar sesama manusia. siapa saja yang berminat menulis ataupun memberikan suatu informasi yang bermanfaat, layangkan tulisan anda ke "buletin73@gmail.com"
salam Editorial.
(bagi yg Upload tolong tulisan yg akn di upload Rata kanan n Kiri, dan dirapikan, Editorial)
Kami bukan dewa, bukan sang pencipta, jadi kritik Kami!!!

Jumat, 02 Juli 2010

REKOMENDASI PENGELOLAAN BANGUNAN BERSEJARAH PADA KAWASAN PECINAN KOTA PADANG


Topik


Skripsi ini membahas tentang pengelolaan bangunan Cina kawasan Pecinan di Kota Padang, terutama yang berada di Kecamatan Padang Barat Kelurahan Belakang Tangsi, sebagai kawasan bersejarah dan memiliki sumber daya warisan budaya. Di dalam skripsi ini dijelaskan mengenai kondisi bangunan Cina yang dikelola/dimiliki secara pribadi, komunitas, pemerintah, dan institusi swasta. Selain itu juga dibahas tentang nilai penting yaitu, fasad, elemen arsitektur serta fungsinya, potret pengelolaan di masa kini, dan strategi serta rekomendasi dalam pengelolaan bangunan Cina beserta kawasan Pecinan.


Permasalahan dan Tujuan


Bangunan Cina yang merupakan salah satu bagian identitas Kota Padang, saat ini terancam oleh program–program pembangunan sehingga banyak bangunan yang akan mengalami perubahan, baik secara fisik maupun perubahan fungsi. Oleh sebab itu, skripsi ini mencoba menilik keberadaan bangunan Cina pada kawasan Pecinan Kota Padang, serta melihat cara pengelolaan yang dipakai pada saat ini, skripsi inipun bertujuan memberikan bentuk rekomendasi pengelolaan bangunan Cina jika pengelolaan yang dilakukan sesuai dengan kaidah pengelolaan bangunan bersejarah pada kawasan bersejarah sehingga kedepannya bangunan tersebut dapat juga dilestarikan dan dimanfaatkan dengan baik untuk kepentingan bersama.


Metode


Penelitian ini menggunakan metode deskripsi analisis. Dalam analisisnya, penelitian ini menggunakan analisis kualitatif melalui pendekatan Cultural Resource Management, yang diawali dari identifikasi sumber daya budaya, menentukan nilai penting, persepsi stakeholders, menjabarkan serta merumuskan kebijakan dalam pengelolaan, dan merancang serta merekomendasikan strategi pengelolaan bangunan dikawasan Pecinan Kota Padang.


Kesimpulan


Berdasarkan penelitian ini, diketahui bahwa bangunan Cina di kawasan Kota Padang mendapatkan ancaman. Hal tersebut dilatarbelakangi belum adanya pedoman pelestarian bangunan bersejarah. Keberadan Bangunan Cina memiliki nilai penting, sehingga direkomendasikan rencana strategi pengelolaannya secara berkesinambungan dan sistimatika. Dalam strategi pengelolaan tersebut juga dihasilkan modul bagan koordinasi pelestarian. Modul bagan koordinasi berisikan pihak-pihak yang terkait dengan pelaksanan pelestarian warisan budaya diantaranya pemerintah, masyarakat, akademisi dan swasta.

Rabu, 02 Juli 2008

Asal-Usul dan Sejarah Suku Anak-Dalam (Orang Rimba) Jambi

Oleh : Muzaiin Arfa Satria

1. Sebutan Diri

Kelompok masyarakat terasing yang bermukim di sekitar pegunungan duabelas Jambi menyebut diri Orang Rimba yang dibedakan dengan masyarakat luar, yang disebut orang terang. Anak Dalam juga merupakan sebutan diri yang mereka senangi, dan mereka sangat marah jika disebut orang Kubu, sebutan itu dianggap merendahkan diri mereka. Dalam percakapan antar warga masyarakat jambi tentang orang Kubu tercermin dari ungkapan seseorang yang menunjukan segi kedudukan dan kebodohan, misalnya membuang sampah sembarangan diumpat “Kubu kau….!”. sebutan lain yang disenangi orang rimba ialah “sanak”, yaitu cara memanggil seseorang yang belum kenal dan jarang bertemu. Bila sudah sering bertemu maka panggilan akrab ialah “nco” yang berarti kawan.(Soetomo, 1995:58)

Senada dengan diatas Butet Manurung juga mengemukakan bahwa, kubu berarti kotor, primitif, kafir, atau arti lain yang senada. Kata ini sebenarnya berasal dari Orang Rimba yang justru dipakai oleh orang luar untuk menunjukan identitas Orang Rimba yang “primitif”. Di kemudian hari, penyebutan ini ternyata mempengaruhi cara pandang dan perilaku Orang Rimba bila berhadapan dengan orang luar. Mereka menjadi merasa rendah diri dan hilang kepercayaan terhadap dirinya sendiri. (Manurung, 2007:41)

2. Asal Usul Suku Anak Dalam (Orang Rimba)

Tentang asal usul Suku Anak Dalam (Muchlas, 1975) menyebutkan bermacam cerita/hikayat dari penuturan lisan yakni: Cerita Buah Gelumpang, Tambo Anak Dalam (Minangkabau), Cerita Orang Kayu Hitam, Cerita Seri Sumatera Tengah, Cerita Perang Jambi dengan Belanda, Cerita Tambo Sriwijaya, Cerita Turunan Ulu Besar dan Bayat, Cerita tentang Orang Kubu. Dari cerita/hikayat tersebut Muchlas menarik kesimpulan bahwa Anak Dalam berasal dari tiga keturunan:

  1. Keturunan dari Sumatera Selatan, umumnya tinggal di wilayah Kabupaten Batanghari.
  2. Keturunan dari Minangkabau umumnya di Kabupaten Bungo Tebo sebagian Mersan.
  3. Keturunan dari Jambi Asli ialah Kubu Air Hitam Kabupaten Sarolangun Bangko.

Versi lain asal usul menurut Orang Rimba sendiri dalam Disertasi Muntholib Soetomo yaitu, seorang yang gagah berani bernama Bujang Perantau. Pada suatu hari memperoleh buah gelumpang dan dibawa kerumahnya. Suatu malam ia bermimpi agar buah gelumpang itu dibungkus dengan kain putih yang nanti akan terjadi keajaiban, yang berubah menjadi seorang putri yang cantik. Putri itu mengajak kawin Bujang Perantau, namun Bujang Perantau berkata bahwa tidak ada orang yang mengawinkan mereka. Putri tersebut berkata : “Potonglah sebatang kayu bayur dan kupas kulitnya kemudian lintangkan di sungai, kamu berjalan dari pakal saya dari ujung. Kalau kiata dapat beradu kening di atas kayu tersebut berarti kita sudah kawin”. Permintaan itu dipenuhi oleh Bujang Perantau dan terpenuhi segala syaratnya, kemudian keduanya menjadi suami isteri. Dari hasil perkawinan itu lahirlah empat orang anak, yaitu Bujang Malapangi, Dewo Tunggal, Putri Gading, Dan Putri Selaro Pinang Masak. Bujang Malapangi, anak tertua yang bertindak sebagai pangkal waris dan Putri Selaro Pinang masak sebagai anak bungsu atau disebut juga ujung waris keluar dari hutan untuk pergi membuat kampung dan masuk islam; ke duanya menjadi orang Terang. Putri Selaras Pinang Masak menetap di Seregam Tembesi, sedangkan Bujang Malapangi membuat kampung pertama di sekitar sungai Makekal pertama di Kembang Bungo, ke dua Empang Tilan, ke tiga di Cempedak Emas, ke empat di Perumah Buruk, ke lima di Limau Sundai, dan kampong terakhir di Tanah Garo sekarang. Hal inilah membuat orang Rimba menjadikan tokoh keturunan Bujang Malapangi sebagai Jenang (orang yang dapat diterima oleh orang Rimba dan juga oleh orang lain, selain orang Rimba yang berfungsi sebagai perantara bagi orang Rimbo yang akan berhubungan dengan orang lain atau orang lain yang akan berhubungan dengan orang Rimba). Jenang yang paling berpengaruh dijadikan rajo (raja), dan segala urusan antara orang Rimba dengan orang luar harus melibatkan Jenang mereka dan rajo-nya.

Secara mitologi, mereka (Suku Anak-Dalam) masih menganggap satu keturunan dengan Puyang Lebar Telapak yang berasal dari Desa Cambai, Muara Enim. Menurut pengingatan mereka, yang didapat dari penuturan kakek-neneknya, bahwa sebelum mereka bertempat tinggal di wilayah Sako Suban, mereka tinggal di dusun Belani, wilayah Muara Rupit. Mereka hijrah karena terdesak waktu perang ketika zaman kesultanan Palembang dan ketika masa penjajahan kolonial Belanda. Secara tepat waktu kapan mereka hijrah tidak diketahui lagi, yang mereka (Suku Anak Dalam) ingat berdasarkan penuturan, hanya masa kesultanan Palembang dan masa penjajahan Belanda. Dari Dusun Belani, Suku Anak-Dalam mundur lebih masuk ke hutan dan sampai di wilayah Sako Suban. Di wilayah Sako Suban ini, mereka bermukim di wilayah daratan diantara sungai Sako Suban dan sungai Sialang, keduanya sebagai anak dari sungai Batanghari Leko. Wilayah pemukiman yang mereka tempati disebut dengan Tunggul Mangris. (Dirjen Bina Masyarakat Terasing Depsos RI, 1998 :55-56)

Versi Departemen sosial dalam data dan informasi Depsos RI (1990) menyebutkan asal usul Suku Anak-Dalam yakni : sejak Tasun 1624 Kesultanan Palembang dan Kerajaan Jambi, yang sebenarnya masih satu rumpun, memang terus menerus bersitegang dan pertempuran di Air Hitam akhirnya pecah pada tahun 1629. Versi ini menunjukkan mengapa saat ini ada dua kelompok masyarakat anak-dalam dengan bahasa, bentuk fisik, tempat tinggal dan adat istiadat yang berbeda. Mereka yang menempati belantara Musi Rawas (Sumatera Selatan) berbahasa Melayu, berkulit kuning dengan postur tubuh ras Mongoloid seperti orang Palembang sekarang. Mereka ini keturunan pasukan palembang. Kelompok lainnya tinggal di kawasan hutan Jambi berkulit sawo matang, rambut ikal, mata menjorok ke dalam. Mereka tergolong ras wedoid (campuran wedda dan negrito). Konon mereka tentara bayaran Kerajaan Jambi dari negeri lain.

Versi lain adalah cerita tentang perang jambi dengan belanda yang berakhir pada tahun 1904, pihak pasukan Jambi yang dibela oleh Anak-Dalam yang dipimpin oleh Raden Perang. Raden Perang adalah cucu Raden Nagasari. Dalam perang gerilya maka terkenallah Anak-Dalam dengan sebutan Orang Kubu artinya orang yang tak mau menyerah pada penjajah Belanda yang membawa penyakit jauh senjata api. Orang Belanda disebut Orang Kayo Putih sebagai lawan Raja Jambi (Orang Kayo Hitam) (Muchlas,1995).

Lebih lanjut tentang asal-usul “Suku Anak-Dalam” ini juga dimuat pada seri profil masyarakat terasing (BMT, Depsos, 1988) yakni sebagai berikut :

Pada zaman dahulu kala terjadi peperangan antara Kerajaan Jambi yang dipimpin oleh Puti Selaras Pinang Masak dan kerajaan Tanjung Jabung dipimpin oleh Rangkayo Hitam. Peperangan ini semakin berkobar, akhirnya didengar oleh Raja Pagar Ruyung, yaitu ayah dari Puti Selaras Pinang Masak. Raja Pagar Ruyung memerintahkan agar dapat menaklukkan Kerajaan Rangkayo Hitam, mereka menyanggupi dan bersumpah/berjanji tidak akan kembali sebelum menang. Jarak antara kerajaan Pagar Ruyung dengan Kerajaan Jambi sangat jauh, harus melalui hutan rimba belantara dengan berjalan kaki. Perjalanan mereka sudah berhari-hari lamanya, kondisi mereka sudah mulai menurun sedangkan persediaan bahan makanan sudah habis, mereka sudah kebingungan. Perjalanan yang ditempuh masih jauh, untuk kembali ke Kerajaan Pagar Ruyung mereka merasa malu. Sehingga mereka bermusyawarah untuk mempertahankan diri hidup didalam rimba.

Untuk menghindari rasa malu mereka mencari tempat-tempat yang sepi dan jauh ke dalam rimba raya. Keadaan kehidupan mereka makin lama semakin terpencil, keturunan mereka menamakan dirinya Suku Anak-Dalam.

Tentang Suku Anak-Dalam ini (Orang Rimba) Ruliyanto, wartawan Tempo (Tempo, April 2002:70) menulis bahwa : sejumlah artikel menyebut orang rimba merupakan kelompok melayu tua dari rumpun Melanesia. Mereka disamakan dengan kelompok melayu tua lainnya di Indonesia seperti orang Dayak, Sakai, Mentawai, Nias, Toraja, Sasak, Papua, dan Batak pedalaman. Kelompok melayu tua merupakan eksodus gelombang pertama dari Yunan (dekat lembah sungai Yang Tze di Cina Selatan) yang masuk ke Indonesia Selatan tahun 2000 sebelum masehi. Mereka kemudian tersingkir dan lari ke hutan ketika kelompok Melayu Muda datang dengan mengusung peradaban yang lebih tinggi antara tahun 2000 dan 3000 sebelum masehi.

Menurut Van Dongen (1906) dalam Tempo (2002:71) menyebutkan bahwa Orang Rimba sebagai orang primitif yang taraf kemampuannya masih sangat rendah dan tak beragama. Dalam hubungannya dengan dunia luar kota Orang Rimba mempraktekan silent trade mereka melakukan transaksi dengan bersembunyi di dalam hutan dan melakukan barter, mereka meletakkannya di pinggir hutan, kemudian orang melayu akan mengambil dan menukarnya. Gongongan anjing merupakan tanda barang telah ditukar.

Senada dengan itu Bernard Hagen (1908) dalam Tempo (2002:71) (die orang kubu auf Sumatera) menyatakan Orang Rimba sebagai orang pra melayu yang merupakan penduduk asli Sumatera demikian pula Paul Bescrta mengatakan bahwa orang Rimba semua dengan proto melayu (melayu tua) yang ada di Semenanjung Melayu yang terdesak oleh kedatangan melayu muda.

Daftar Pustaka :

Depsos RI. 1990, Data dan Informasi Pemberdayaan Masyarakat Terasing. Jakarta

________. 1998, Masyarakat Terasing Suku Anak Dalam dan Dusun Solea Dan Melinani, Direktorat Bina Masyarakat Terasing, Jakarta.

Dongen, C.J. Van. Tanpa Tahun, Orang Kubu (Suku Kubu), Arsip Museum Provinsi Jambi, Jambi.

Manurung, Butet. 2007, Sokola Rimba, Insist Press, Yogyakarta

Muchlas, Munawir. 1975, Sedikit Tentang Kehidupan Suku Anak Dalam ( Orang Kubu) di Provinsi Jambi, Kanwil Depsos Provinsi Jambi, Jambi

Ruliyanto, Agung. 2002, Majalah Tempo 18 April 2002, Jakarta

Soetomo, Muntholib, 1995, Orang Rimbo : Kajian Struktural-Fungsional Masyarakat Terasing Di Makekal Provinsi Jambi, Universitas Padjajaran, Bandung.

Senin, 30 Juni 2008

Pajak untuk Rakyat atau Pajak yang Merakyat?

oleh : Muzaiin Arfa Satria

Sosialisasi yang kian gencar dilakukan oleh direktorat jendral pajak indonesia bisa kita lihat dimana-mana. Mulai dari iklan elektronik maupun sosialisasi terjun ke lembaga-lembaga pendidikan kampus. Sekedar mengingat tentang iklan dari Dirjen Pajak dengan motto “Apa kata dunia??” sebuah iklan yang menyesatkan dan kalau kita menganalisis secara cermat tidak ada logisme antara Pajak dan motto tersebut. Apa hubungannya antara membayar pajak dan perkataan dunia. Namun tulisan ini bukan mengkaji permasalahan iklan tersebut, hanya selayang pandang atas penggunaan bahasa dalam iklan yang akhir-akhir ini semakin menyesatkan dan tidak mendidik.

Pajak untuk Rakyat. Kata ini tepat digunakan untuk mengkaji secara fungsional dan struktural mengapa diciptakannya pajak di sebuah negara. Pajak didapatkan dari sistem perekonomian yang diciptakan oleh suatu negara dengan fungsi untuk mensejahterakan rakyat, baik itu berupa pembangunan fisik maupun non fisik. Secara garis besar pajak juga berfungsi sebagai pendapatan negara yang nantinya juga diperlukan untuk subsidi di setiap bidang yang diperlukan dalam suatu negara. Di Indonesia secara signifikan masyarakat belum dapat merasakan manfaat pajak itu untuk apa? Dan lebih parah lagi banyak yang menanyakan sebenarnya pajak itu berguna atau tidak. Ini disebabkan kurangnya pengetahuan mengenai pajak dan ketidakpercayaan masyarakat terhadap perpajakan di Indonesia sendiri. Kurangnya pengetahuan dan ketidakpercayaan nantinya akan menimbulkan ketidaksadaran maupun acuh tak acuh akan pajak tersebut. Ketidakpercayaan ini disebabkan oleh sifat-sifat manusia sendiri akan sebuah pandangan mengenai objek yang dilihatnya, seperti misalnya manusia tidak percaya akan sebuah bahaya merokok karena manusia (konsumen rokok) belum merasakan dampak dari bahaya nikotin yang langsung dirasakan, atau misalnya manusia yang terkena paku dikakinya lantas dia berkata “aduh” merasakan sakit bukan kepalang, yang kemudian manusia tersebut akan lebih berhati-hati dalam berjalan dengan menggunakan alas kaki. Ilustrasi diatas secara esensi mengemukakan bahwa untuk mencapai kesadaran akan sesuatu hal, manusia harus merasakan sendiri baik berbentuk pengalaman, pencarian (keingintahuan) ataupun secara reflektif. Dalam konteks pajak, dimana pertanyaan yang muncul adalah bagaimana menciptakan masyarakat yang sadar akan pajak, perlu adanya kesadaran yang mendorong seseorang untuk membayar pajak, baik itu dorongan dari pemerintah sendiri dan juga manusianya itu sendiri. Perlu adanya penekanan bahwa pajak dari rakyat untuk rakyat, bukan dari rakyat untuk kepentingan rakyat. Mengapa demikian, karena paradigma kepentingan rakyat cenderung bersifat suatu golongan atau kelompok, berbeda jika itu “untuk rakyat” kata ini cenderung bersifat universal dan menyeluruh. Ini sangatlah penting untuk menciptakan kesadaran pajak di masyarakat, memang ini hanya permasalahan teks bahasa namun hal ini juga merupakan suatu pola-pola untuk merubah paradigma yang muncul di masyarakat dewasa ini.

Pajak yang Merakyat. Seperti yang kita rasakan pajak di Indonesia merakyat sekali, hal ini dimaksudkan adalah pajak di Indonesia hampir di setiap sektor kehidupan tidak luput dari perpajakan. Dari dalam kandungan hingga seseorang nantinya meninggal dunia bisa dikatakan diselimuti pajak dalam kehidupannya. Dimulai dari biaya rumah bersalin dan perawatan yang terkena pajak maupun nantinya jika seseorang meninggal dunia baik proses pemakaman dan penggunaan lahan untuk makam. Yang lebih anehnya lagi adalah pajak 10% atupun lebih untuk setiap makanan, tempat hiburan, tempat makan, dll, yang dibebankan kepada konsumen. Jika kita kritisi terasa aneh mengapa hal tersebut dibebankan kepada konsumen tidak dibebankan saja kepada perusahaan yang mengelolanya. Sebagai ilustrasi “ seseorang yang makan di sebuah kafe yang dikenakan pajak 10% dengan rincian biaya makanan Rp. 50.000 dan pajak 10% dari 50.000 = 5000, jadi dia harus membayar Rp. 55.000 pada kafe tersebut. Mengapa harus dibebankan kepada konsumen pajak tersebut, toh yang di untungkan adalah kafe, seharusnya pemerintah mebebankan saja kepada kafe tersebut. Memang dalam sistem perpajakan kita adanya 2 batasan pajak, yaitu pajak daerah dan pajak pusat (nasional). Namun mengapa beban pajak yang dirasakan masyarakat secara tidak disadari ada dimana-mana. Seharusnya ada batasan-batasan yang jelas antara pajak individu dan pajak perusahaaan, karena beban yang dirasakan oleh individu oleh pajak sangatlah banyak, pajak pendapatan, pajak izin mendirikan bangunan (IMB), pajak tanah, pajak tahunan, pajak kendaraan bermotor, dll. Sangat banyak dan merakyat! Batasan pajak konsumen seharusnya di prioritaskan hanya kepada produsen ataupun perusahaannya saja. Karena pajak yang merakyat dan memiliki kecenderungan tumpang tidih memiliki aspek negatif bagi masyrakat sendiri.

Modernisasi Perpajakan. Dalam sosialisasi yang dilakukan oleh dirjen pajak mengemukakan adanya sebuah modernisasi secara struktural, perubahan yang diciptakan adalah sentralisasi pembayaran pajak, dan dengan munculnya respensitatif yang disediakan oleh perpajakan. Memang ini merupakan suatu kemajuan biokrasi di perpajakan yang dulunya sangat berbelit-belit. Adanya pajak online juga sangat membantu dalam mempermudah registrasi NPWP dan info-info pajak lainnya. Namun menurut pendapat penulis, modernisasi bukan hanya pada permasalahan material saja namun hal-hal non material juga harus di ubah. Secara fungsional tugas Dirjen pajak hanya sebatas mengumpulkan biaya untuk anggaran pemerintah, namun secara detail kemana biaya dikeluarkan dan kegunaannya untuk apa, perpajakan tidak mengetahuinya. Karena adanya departemen anggaran dan lain sebagainnya. Seharusnya perpajakan dalam modernisasi perpajakan perlu adanya wewenang yang lebih dari hanya mengumpulkan pajak sendiri, memang cukup sulit. Ini diperlukan untuk sosialisasi yang genjar dilakukan oleh perpajakan, sosialisasi bukan hanya bagaimana menumbuhkan kesadaran tapi ada feedback dari perpajakan dengan pengetahuan alokasi secara detail kemana pajak tersebut dikucurkan. Sebenarnya ini sangatlah penting untuk menumbuhkan kepercayaan masyarakat terhadap pajak. Seperti yang dikemukakan diatas bahwa pajak memang untuk rakyat, dan janganlah pajak saja yang merakyat!

Kamis, 19 Juni 2008

PAHAMI ®

Isi adalah kosong, kosong adalah isi yang merupakan falsafah dharma budha yang berkembang untuk menggapai keseimbangan, zaman sekarang manusia begitu terpatri pada keinginan untuk menguasai, akibat kerakusan yang tumbuh dalam jiwa bentuk sifat hewani yang terpakai manusia, adakah kita terpikir menjaga keseimbangan dunia di mana dapat dilihat dan diterapakan dari berbagai asumsi pemaknaan angka 0 di dunia antara hitam dan putih, antara malaikat dan iblis, antara benar dan salah antara baik dan buruk, antara panjang dan pendek, antara tinggi dan rendah, antara biasa dan tidak biasa berkodratlah manusia tidak tuhan manusia tidak malaikat manusia tidak iblis atau jin manusia adalah manusia.

Harta, kuasa, merupakan impian setiap orang, wanita yang cantik, pria yang tampan, wajah yang anggun, wajah yang menarik, menjadian buruan setiap insan! apakah terpikir apa yang dilihat tidak selalu mencerminkan isinya, adakah hal-hal seperti diatas menjadi patokan yang pasti, tidak!!! Imanuel kant berkata bahwa manusia yang merdeka atau bebas adalah manusia yang bisa mengatakan tidak, bukan berarti ini adalah pembelaan diri atau pembelaan atas keadaan terkadang kita terbutakan akan kenyataan, arusnya sungai kehidupan begitu deras sehingga kita terhanyut arus yang deras, kemampuan kita untuk bertahan atas keadaan kurang!!! apakah saya dan kita semua menyadari bahwa vaksin yang dibangun jiwa sekarang telah ketinggalan zaman lemah dan hampir tidak ada gunanya, alangkah kasihan jiwa ini hujat, harapan, tangisan yang banyak kita dengar dalam dunia kaum tertinggal terpinggirkan dan yang masih mengharapan rangkulan kasih, rangkulan sejuk dari kita yang memahami dan melihat keseluruhan secara komplek karena tinjauan satu jiwa objek ternyata membawa kita kepada kesesatan jiwa.

Alam takambang jadi guru jadikanlah keberadaan alam menjadi guru jangan sekali kali bilang hal ini merupakan suatu yang bersifat tertinggal tradisional atau primitif perlu kita pahami bersama bahwa adaptasi yang paling unggul adalah adaptasi alam dan jangan menyangkal bahwa adaptasi manusia adalah adaptasi akal akalan yang nilai kontektualnya terkadang meleset, pengangkatan sifat makrokosmis berpusat pada manusia yang telah menghancurkan manusia itu sendiri seharusnya saya dan kita semua mengetahui bahwa kita hanya merupakan sel kecil yang ada diatas dunia yang ketika hilang tidak akan mempengaruhi apa-apa didunia yang luas ini jangan hanya melihat dunia adalah bumi,! begitu luas jagad raya ini.

“ Balance all brought all to your mind the year to come seemed wasted of breath a waste of breath the year behind in balance with life this death ” (jawarahal nehru)

Ini Pertanyaan Kesesatan ataukah penyesalan…..?

Hm…. Ternyata hidup adalah semu,,,
Belut agama yang menjaga ….
Ingatan akan kehidupan yang kekal setelah dunia….
Jadi acuan berjuta umat.

Kehidupan yang berjalan seperti biasanya di lereng bukit yang gersang,
Tak ada sebenarnya yang menarik,,, hanya nuansa sepi yang menjanjikan, walaupun telah memeras pikiran untuk mendapatkan sesuatu yang diimpikan, ternyata kehampaan yang tetap didapat.

Terbayang bagaimana kehidupan dimasalalu yang tidak secukup dimasa sekarang ,,,, mungkin jika kita hidup dimasa tersebut kita akan selaul membayangkan kehidupan dimas sekarang yang berkecukupan…ternyata tidak sama saja….
Pernahkah kita bertanya sebenarnya siapa dan apa tujuan kita didunia…..
Apakah benar seperti yang didogma oleh agama-agama yang kita anut,,,,
Atau itu hanya angan angan semu manusia yang direkayasa dari masa ke masa
Sehingga generasi setelahnya terlena akan janji dogma semu itu????
Wah jika itu benar……. Apa yang akan terjadi (semoga saja tidak)

Kenapa manusia selaulu merasa lapar?
Kenapa manusia diciptakan dengan mempunyai perut??
Kenapa tidak menciptakan manusia tanpa harus merasa lapar???
Dengan begitu manusia tidak perlu meributkan bebagai hal terkait dengan rasa lapar????

Kenapa manusia mempunyai akal?
Kenapa manusia harus mempunyai otak??
Kenapa tidak memciptakan manusia yang tidak berfikir menggunakan akalnya???
Dengan begitu manusia tidak akan melakukan percobaan yang mengantarkannya pada kesesatannya masing-masing????

Kenapa manusia harus di balut oleh hasrat?
Hasrat yang dapat mendatangkan malapetaka bagi dirinya sendiri dan keluarga yang mencintainya serta melindunginya dari semua ancaman…..

Apakah kita pernah menyadari hal-hal itu????

Ataukah semua itu ada, karena kita harus berfikir ! kenapa itu terjadi, ketika kita diberikan hal-hal itu????

Millennium barupun telah muncul, sudah banyak generasi yang berganti sebelum kita muncul… dan kita masih menanyakan apa eksistensi kita di dunia ini???
Kalau begitu buat apa ada generasi-generasi sebelum kita? Apakah mereka diciptakan untuk bersegama dan melahirkan generasi generasi yang akan bersegama lagi tanpa memberikan kebijakan kepada generasi setelahnya?

7 unsur kebudayaan sebagai eksistensi menurut saya

Kita tahu bahwa manusia sangat membutuhkan eksistensi didalam hidupnya. hal tersebut dapat ditinjau dari aspek – aspek yang ada pada sebuah kebudayaan diantaranya yaiu; strata sosial, pekerjaan, bahasa, kepercayaan, ilmu pengetahuan, teknologi serta kesenian. Masing-masing aspek tersebut mempunyai pengaruh satu dengan yang lainnya.
Strata sosial menurut saya merupakan pembagian kedudukan manusia didalam lingkungannya sesuai dengan keadaan masyarakat yang memandangnya. Secara general didalam masyarakat akan ditemukan perlakuan berbeda terhadap masing-masing manusia, itu adalah bentuk aturan yang ada dalam lingkungan dan merupakan bentuk dari adaptasi dengan begitu manusia akan diposisikan secara terlapis.
Pekerjaan menurut saya pekerjaan menentukan manusia menurut eksistensinya didalam lingkungan. Kecakapan manusia dalam bertindak dan bertolak ukur dalam mencapai kebutuhannya serta sikap akan menncapai keberhasilan sebuah sistem, hal itu terkait dengan penempatan unsur-unsur didalam sistem tersebut sesuai dengan bidang yang seharusnya.
Bahasa menurut saya kita dapat melihat suatu eksistensi dalam pengunaan bahasa. Pada lapisan masyarakat pengunaan intonasi atua logat serta redaksional yang berjenjang akan memperlihatkan latar belakang eksistensi manusianya sehingga dia dapat ditempatkan pada lapisannya serta manusia akan melakukan peran sosial yang sesuai dengan keberadaan eksisrensinya.
Kepercayaan menurut saya dapat dilihat secara jelas bahwa kepercayaan dapat menempatkan manusia pada eksistensinya didalam masyarakat. Tingkat pemahaman dogma serta nilai plagiat yang terdapat dalam alam pikirannya tentang nilai-nilai ajaran yang berasal dari kekuatan diluar manusia memunculkan atmosphir pada kualitas dirinya secara religi dan hal tersebut melapiskannya pada golongan yang semestinya.
Ilmu pengetahuan menurut saya akan membantu manusia dalam menemukan eksistensinya dan melapiskannya dalam kualitas masyarakat yang ada didalam lingkungannnya. Dengan pengetahuan manusia mencoba melakukan pembuktian serta mencari pembenaran versi dirinya dan mempublikasikan kepada masyarakat sehingga memunculkan idiom pada manusia lainnya.
Teknologi menurut saya teknologi dapat menemukan eksistensinya. Karena teknologi adalah hasil karya manusia yang memiliki keinginan untuk menciptakan sebuah karsa atau rasa. Hal itu bertujuan untuk mempermudah semua proses yang ingin dicapainya, namun demikian penciptaan yang dilakukan manusia lebih cenderung mengorban keberadaan lingkungannya, dalam arti memunculkan berbagai bentuk kekurangan yang ada dimuka bumi ini. Sikap dapat memgolah sumber daya dan memunculkan sesuatu yang belum dikenal oleh manusia lain akan mendatangkan bentuk eksistensi baru pada manusia tersebut
Kesenian kesenian dapat mendatangkan eksistensi pada manusia. Karena kesenian adalah sikap-sikap manis manusia yang diaktualisasikan dalam berntuk gerak yang tertata dengan seksama. Gerakan itu memunculkan hipnotis sehingga yang melihat menjaedi terkhasima serta kagum akan keindahannya. Kekaguman itu akan mengangkat nilai-nilai keberadaannya didalam lingkungan yang telah mengenalnya.

fisika quantum

Fisika quantum yang digunakan dalam analisis tasawuf agama membuat kita masuk dalam dunia baru, dimana biasanya kita selalu menerapkan sisi psikologi dan budaya secara etnograf dalam membahas ilmu-ilmu agama, bentuk hitungan matematis yang dapat menyimpulkan pengetahuan tanpa kita harus memolakan lagi, keunggulan ilmu eksak adalah dapat menuaikan suatu informasi sesuai dengan tuntutan dunia pengetahuan, suatu ruang yang meminta informasi dalam bentuk skematis dan terhitung, biasanya mahasiswa yang membentuk kelompok diskusi di dalam teritorial budaya dan sastra sangat jarang melirik ilmu eksak sebagai tinjauan dari olah pikirannya, karena kemampuannya sendiri tidak dapat menjangkau pemikiran logika kesana, manusia yang bergerak dalam budaya dan sastra adalah manusia yang dipersiapkan berdialektika dalam bentuk media bahasa! bukan hitungan! itu perbedaannya.
Jika kita melihat dimensi ruang sering sekali kita terjebak dengan zaman, dalam fisika quatum ruang didefinisikan sebagai energi yang berbentuk frekwentatif yang secara matematis mempunyai rumusan dan anak perumusannya. Didalam fisika quantum kita dapat menyatakan bentuk budaya yang terpola, bahkan kita dapat menyentuh statistik perubahan budaya yang diakibatkan gaya grafitasi dari masing-masing komunal yang ada pada masyarakat, interkolerasi yang terjadi menghasilkan dinamika sosial yang beritme, ritme yang berupa frekwensi energi yang bergerak acak, dioposisikan oleh bentuk keadaan psikologi masyarakatnya.
Sering kita menghadapai pengklutseran bentuk budaya mistik dengan budaya nalar, didalam pengetahuan budaya dan sastra dua hal tersebut merupakan budaya yang mempunyai dunia masing-masing (hal yang berbeda), lain hal jika kita tinjau dari fisika quantum, dua bentuk budaya tersebut merupakan budaya yang berkesinambungan itu dilihat dari sesuatu yang bersifat tidak bisa di telaah dengan keadaan nyata dikarena instrumennya yang berbeda akan tetapi jika kita mampu memunculkan satu hal yang mempunyai kesamaan maka dengan fisika quantum kita dapat menemukan kolersai pembentangan budaya tersebut, dalam artian bahwa ketika ada dua frekwensi yang belum mempunya klem yang mempertemukan maka hal tersebut tidak mempunyai hubungan akan tetapi jika frekwensi tersebut telah mempunyai klem maka frekwensi itu akan menjadi frekwensi yang saling menyambung, sederhana bukan itu fisika quantum.
Maka perlu diketahui dalam alquran dituliskan “Diciptakan langit dan bumi hanya untuk manusia”, alam bergerak secara sitimatika, alam mempunyai perhitungan, maka untuk memahami alam dan konsesi agama maka belajarlah berhitung, belajarlah fisika quantum!!